Untuk memotong jalur pasokan dan menghadapi tekanan geopolitik, Volvo membagi operasi produksinya berdasarkan wilayah yaitu China, Eropa, dan Amerika Serikat. Hal ini memungkinkan produksi yang lebih dekat dengan pelanggan untuk mempercepat waktu pengiriman. “Kami perlu menjadi pemain lokal di AS,” ujar Samuelsson, menekankan pentingnya kehadiran industri di wilayah tersebut.
Volvo berencana agar operasinya di China berfungsi lebih otonom untuk memenuhi kebutuhan lokal. Samuelsson menegaskan, “Kita perlu mendengar pelanggan dan beradaptasi dengan preferensi lokal.” Dengan strategi ini, Volvo berharap dapat meningkatkan pertumbuhan di China dan AS dengan menyesuaikan diri lebih cepat terhadap kondisi lokal.
Terkait tarif yang diberlakukan pemerintahan Trump, Samuelsson optimis bahwa negosiasi dapat menghasilkan perdagangan yang lebih adil antara Eropa dan AS. Dia berharap tarif bolak-balik dapat turun menjadi 2,5 persen. Volvo, meskipun dimiliki oleh Geely asal China, menegaskan identitasnya sebagai perusahaan Swedia dengan kehadiran lama di pasar AS.
Volvo tetap berkukuh pada visi kendaraan listrik penuh pada 2030 meski penjualan EV seperti C40 lebih lambat dari yang diharapkan. Samuelsson melihat transisi ini sebagai peluang besar, walau mungkin membutuhkan lebih banyak waktu. “Kami memiliki solusi jembatan sempurna dengan kendaraan hybrid plug-in kami.”
Ringkasan: Volvo konsisten dengan strategi elektrifikasi dan regionalisasi, menargetkan pertumbuhan di AS dan China sambil menghadapi tantangan perdagangan global. Pabrik di South Carolina mendapat sorotan sebagai bagian penting dari strategi ini, meski ada penyesuaian tenaga kerja.
